Senin, 26 November 2012

Kisah Ibu Tangguh Menafkahi 5 Anak
Tak Makan, cuma Dapat Rp10 Ribu Sehari
Padang Ekspres • Kamis, 19/01/2012 13:06 WIB • Laporan SANNY ARDHY—Pauh • 446 klik
Bantuan Spontan: Ketua Harian Bazda Padang, Maigus Nasir didampingi Kabag Kesra
Potret kemiskinan warga Kotolua, Pauh, Syamsiwar, 48, yang disiarkan televisi nasional kemarin (17/1), seakan “menampar” wajah Pemko dan Badan Amil Zakat Daerah (Bazda) Kota Padang. Bazda Padang sebagai BAZ terbaik nasional dan Wako Fauzi Bahar sebagai tokoh penggerak zakat nasional, dinilai kecolongan memperhatikan warganya yang miskin.

Syamsiwar yang ditinggal wafat suaminya dua tahun lalu, kini terpaksa seorang diri menafkahi lima anaknya. Sehari-hari, wanita paruh baya ini bekerja mencari tanaman pakis (paku, red) ke rimba Lambuangbukik, Pauh. Rimba yang dituju pun cukup jauh, sekitar tiga kilometer dari rumahnya. Syamsiwar hanya berjalan kaki, pergi pagi pulang sore.

Rata-rata Syamsiwar mendapat 25 ikat sehari. Pakis itu dijualnya ke Pasar Bandarbuat. Karena keterbatasan sumber daya manusia (tak bersekolah, red), Syamsiwar tak mematok harga pakis tersebut. Kadang, 25 ikat pakis dijual Rp 10 ribu, Rp 20 ribu, dan Rp 30 ribu. “Berapa pun dibeli orang, saya terima,” ujarnya polos.

Dengan penghasilan Rp 10 ribu hingga Rp 30 ribu sehari, berat bagi Syamsiwar mencukupi kebutuhan pokok sehari-hari. Uang tersebut lebih diprioritaskan untuk belanja sekolah tiga anaknya yang kini bersekolah di MIN Kotolua. “Kadang, kami tak makan. Cukup minum air putih dan makan gulai paku,” katanya.

Syamsiwar sebenarnya memiliki delapan anak. Tiga anaknya meninggal karena sakit. Begitu pula suaminya, Umar Dani, meninggal karena sakit. Sehari-hari, Syamsiwar bersama lima anaknya, tinggal di pondok kayu ukuran 4x4 meter.

Tak ada ruang tamu, dapur dan WC. Mereka tidur berenam di pondok tersebut. Listrik tak ada. TV juga tak ada. Dinginnya angin malam, menusuk tulang. Klop sudah..

Anaknya yang sulung, Desi, 25, belum bekerja. Ari, anak keempat, putus sekolah karena ketiadaan biaya. Tinggal Ita, Ipil dan Idet yang bersekolah. Ita, anak ketiga sering tinggal kelas. Makanya, kini ia selokal dengan adiknya, Ipil, duduk di kelas III. Adiknya yang bungsu, Idet duduk di kelas I.

Dulu semasa suaminya masih hidup, Syamsiwar tinggal di Lambuangbukik. Di sana, ia juga tinggal di sebuah pondok. Karena suaminya meninggal, ia pun pindah ke Kotolua. Di tempat tinggal sekarang ini, Syamsiwar hanya menumpang. Suatu waktu, pondok tersebut juga akan dibongkar, karena jalan yang melewati pondok tersebut, termasuk planning jalan tata kota.

Awalnya, Syamsiwar sempat kikuk saat didatangi rombongan Bazda bersama Bagian Kesra Setko Padang. Raut wajahnya tegang melihat rombongan orang berpakaian PNS itu. Namun setelah dijelaskan pihak kecamatan dan kelurahan, barulah Syamsiwar mengerti. Tak lama kemudian, dua petugas Bazda datang membawa dua karung beras.

Ketua Harian Bazda Padang, Maigus Nasir didampingi Kabag Kesra Setko Padang, Al Amin segera menghampiri Syamsiwar. “Ini bantuan dua karung beras dan uang Rp 1 juta untuk ibuk dan anak-anak. Semoga bermanfaat ya buk,” kata Maigus.
Air mata Syamsiwar langsung pecah dan segera memeluk Maigus. “Tarimo kasih, Pak,” tutur Syamsiwar.

“Ibuk lai sumbayang,” tanya Maigus. “Ndak, Pak,” jawab Syamsiwar malu-malu. “Ambo sanang, ibuk jujur. Dari iko ka ateh, ibuk harus sumbayang. Jaan karano miskin, awak ndak sumbayang, Buk. Badoa ka Tuhan, mohon dibukakan jalan dan pintu rezeki,” tambah Maigus. Sekali lagi, Syamsiwar memeluk Maigus erat-erat. “Iyo, Pak. Ambo janji,” tukas Syamsiwar.

Kepada Padang Ekspres, Maigus mengatakan bantuan ini bantuan spontan. “Kami merasa malu, potret kemiskinan Padang terekspos di TV nasional. Seakan pemda bersama Bazda tak bisa berbuat untuk masyarakatnya yang miskin. Tahun ini, kami akan membentuk tim khusus untuk mendata warga miskin di Padang. Jujur, kami menilai data gakin versi Pemko dan BPS, masih belum valid,” ulas mantan Ketua DPRD Padang itu.

Di hadapan Syamsiwar, Maigus juga berjanji membuatkan rumah untuknya. “Kami akan berkoordinasi dulu dengan RT, LPM dan Lurah, akan mencarikan tanah untuk rumah permanen Syamsiwar,” terang Maigus. Bola mata Syamsiwar, berbinar mendengar rencana pembuatan rumah tersebut.

“Selain rumah, apo yang ibuk nio lai,” tanya Maigus. Mata Syamsiwar berkaca-kaca. Mulutnya seakan tak sanggup bicara. “Banyak, Pak. Tapi, kalau rumah alah ado, kami nio TV, pak. Alah lamo kami ndak nonton TV. Anak-anak yo taragak bana nonton TV,” jawab Syamsiwar dengan logat Minang.

Mendengar itu, Maigus pun terharu. “Iyolah, buk. Awak siap an rumah dulu yo,” ulas Maigus.
Kabag Kesra Setko Padang, Al Amin juga tak menampik, masih banyak gakin yang belum terdata. “Selama ini, ada mindset yang buruk. Jika didata, warga langsung berpikir dapat bantuan.
Makanya, masih banyak juga warga yang bangga mengaku miskin. Begitu pula dengan petugas yang mendata, berlaku KKN terhadap keluarganya. Sudahlah, biarkan saja yang telah berlalu. Mulai hari ini dan ke depan, mari kita saling peduli dengan lingkungan sekitar,” ujar Al Amin.

Al Amin juga mengajak warga Kotolua menyukseskan program terbaru Pemko, beras genggam. “Masih ada sepertiga warga kita yang miskin. Masa kita yang dua pertiga berada ini tak bisa mengeroyok rame-rame untuk membantu gakin yang sepertiga itu,” pungkasnya. (***)

Orang Pinggiran Trans|7, Ketika “Receh” Begitu Berharga Juni 2, 2012

Posted by Maskur in VIEW.
Tags:
trackback
 
 
 
 
 
 
Rate This

”Hai anak muda, jangan santai saja, kalau ada penjajahan lagi kalianlah yang harus melawan. Sewaktu-waktu bisa saja dijajah lagi, harus selalu menyiapkan diri”
–Mbah Sanari , Tegal–
Sore hari jam setengah enam (17:30) saatnya berkumpul dengan keluarga di ruang keluarga. Sambil menonton televisi, sambil ngobrol dengan istri dan anak-anak. Membicarakan hal-hal yang terjadi siang hari tadi.
Pilihan tayangannya adalah “Orang Pinggiran” di Trans|7. Acara dimana kita bisa mawas diri. Disaat kita mikir bagaimana membangun rumah, bagaimana membeli mobil bagaimana membeli bla..bla..bla… Di sana masih banyak yang mikir bagaimana makan besok….
Di saat banyak orang tua berlomba-lomba mencarikan sekolah favorit bagi anak-anaknya. Di sana banyak yang berlomba-lomba bagaimana bisa terus sekolah, bagaimana bisa sekolah.
Di saat banyak pensiunan ikut organisasi dan kegiatan untuk mengisi hari tua. Di sana masih banyak kakek-nenek yang harus naik turun gunung untuk bertahan hidup.
Di saat banyak yang berkata :”Uang 2000 buat apa?” Di san masih banyak yang berkata “Hari ini cuma dapat 2000″
Masihkah berlaku Pasal 34 UUD 1945 :“Fakir miskin dan anak-anakyang terlantar dipelihara oleh negara.”
Hmmmmmmm……………….. Silahkan tonton dan pikirkan sendiri.

Siti Bocah Yatim Tangguh: Jualan Bakso dengan Upah Rp. 2000,- Sehari

REP | 07 March 2012 | 10:47 Dibaca: 27213   Komentar: 207   12 aktual
1331091189178393447
Sore kemarin – Selasa, 06 Maret 2012 – saya pulang kantor rada “tenggo”, jadi sampai di rumah jam 17.30-an, saya sempat nonton acara “Orang-Orang Pinggiran” di Trans7. Dada saya sesak menyaksikannya, air mata saya meleleh tanpa bisa ditahan, tak mampu berkata-kata. Siti, seorang bocah yatim yang ditinggal mati ayahnya sejak usia 2 tahun. Kini Siti berumur 7 tahun. Sehari-hari sepulang sekolah Siti masih harus berkeliling kampung menjajakan bakso. Karena ia masih anak-anak, tentu belum bisa mendorong rombong bakso. Jadi bakso dan kuahnya dimasukkan dalam termos nasi yang sebenarnya terlalu besar untuk anak seusianya. Termos seukuran itu berisi kuah tentu sangat berat.
Tangan kanan menenteng termos, tangan kiri menenteng ember plastik hitam berisi mangkok-mangkok, sendok kuah, dan peralatan lain. Dengan terseok-seok menenteng beban seberat itu, Siti harus berjalan keluar masuk kampung, terkadang jalanannya menanjak naik. Kalau ada pembeli, Siti akan meracik baksonya di mangkok yang diletakkan di lantai. Maklum ia tak punya meja. Terkadang  jika ada anak yang membeli baksonya, Siti ingin bisa ikut mencicipi. Tapi ia terpaksa hanya menelan ludah, menahan keinginan itu. Setelah 4 jam berkeliling, ia mendapat upah 2000 perak saja! Kalau baksonya tak habis, upahnya hanya Rp. 1000,- saja. Lembaran seribuan lusuh berkali-kali digulung-gulungnya.
1331091281124040975913310913341232784161
Sampai di rumah, Siti tak mendapati siapapun. Ibunya jadi buruh mencangkul lumpur di sawah milik orang lain. Tak setiap hari ia mendapat upah uang tunai. Terkadang ia hanya dijanjikan jika kelak panenan berhasil ia akan mendapatkan bagi hasilnya. Setiap hari kaki Ibunda Siti berlumur lumpur sampai setinggi paha. Ia hanya bisa berharap kelak panenan benar-benar berhasil agar bisa mendapat bayaran.
Hari itu Siti ingin bisa makan kangkung. Ia pergi ke rumah tetangganya, mengetuk pintu dan meminta ijin agar boleh mengambil kangkung. Meski sebenarnya Siti bisa saja langsung memetiknya, tapi ia selalu ingat pesan Ibunya untuk selalu minta ijin dulu pada pemiliknya. Setelah diijinkan, Siti langsung berkubang di empang untuk memetik kangkung, sebatas kebutuhannya bersama Ibunya. Petang hari Ibunya pulang. Siti menyerahkan 2000 perak yang didapatnya. Ia bangga bisa membantu Ibunya. Lalu Ibunya memasak kangkung hanya dengan garam. Berdua mereka makan di atas piring seng tua, sepiring nasi tak penuh sepiring, dimakan berdua hanya dengan kangkung dan garam. Bahkan ikan asin pun tak terbeli, kata Ibunda Siti.
133109139978849097013310914672005337386
Bayangkan, anak sekecil itu, pulang sekolah menenteng beban berat keliling kampung, tiba di rumah tak ada makanan. Kondisi rumahnya pun hanya sepetak ruangan berdinding kayu lapuk, atapnya bocor sana-sini. Sama sekali tak layak disebut rumah. Dengan kondisi kelelahan, dia kesepian sendiri menunggu Ibunya pulang hingga petang hari.
Sering Siti mengatakan dirinya kangen ayahnya. Ketika anak-anak lain di kampung mendapat kiriman uang dari ayah mereka yang bekerja di kota, Siti suka bertanya kapan ia dapat kiriman. Tapi kini Siti sudah paham bahwa ayahnya sudah wafat. Ia sering mengajak Ibunya ke makam ayahnya, berdoa disana. Makam ayahnya tak bernisan, tak ada uang pembeli nisan. Hanya sebatang kelapa penanda itu makam ayah Siti. Dengan rajin Siti menyapu sampah yang nyaris menutupi makam ayahnya. Disanalah Siti bersama Ibunya sering menangis sembari memanjatkan doa. Dalam doanya Siti selalu memohon agar dberi kesehatan supaya bisa tetap sekolah dan mengaji. Keinginan Siti sederhana saja : bisa beli sepatu dan tas untuk dipakai sekolah sebab miliknya sudah rusak.
1331091560153848346
(Siti di depan rumahnya yang -maaf - mirip kandang kambing)
Kepikiran dengan kondisi Siti, dini hari terbangun dari tidur saya buka internet dan search situs Trans7 khususnya acara Orang-Orang Pinggiran. Akhirnya saya dapatkan alamat Siti di Kampung Cipendeuy, Desa Cibereum, Cilangkahan, Banten.
Usai sholat Subuh saya hubungi contact person Orang-Orang Pinggiran, meski agak sulit bisa tersambung. Beliau tinggal sekitar 50 km jauhnya dari kampung Siti. Dialah yang menghubungi Trans7 agar mengangkat kisah hidup Siti di acara OOP. Menurut keterangannya, keluarga itu memang sangat miskin, Ibunda Siti tak punya KTP. Pantas saja dia tak terjangkau bantuan resmi Pemerintah yang selalu mengedepankan persyaratan legalitas formal ketimbang fakta kemiskinan itu sendiri. Dia bersedia menjemput saya di Malingping, lalu bersama-sama menuju rumah Siti, jika kita mau memberikan bantuan. Dia juga  berpesan jangan bawa mobil sedan sebab tak bakal bisa masuk dengan medan jalan yang berat.
Saya pun lalu menghubungi Rumah Zakat kota Cilegon. Saya meminta pihak Rumah Zakat sebagai aksi “tanggap darurat” agar bisa menyalurkan kornet Super Qurban agar Siti dan Ibunya bisa makan daging, setidaknya menyelamatkan mereka dari ancaman gizi buruk. Dari obrolan saya dengan Pengurus Rumah Zakat, saya sampaikan keinginan saya untuk memberi Siti dan Ibunya “kail”. Memberi “ikan” untuk tahap awal boleh-boleh saja, tapi memberdayakan Ibunda Siti agar bisa mandiri secara ekonomi tentunya akan lebih bermanfaat untuk jangka panjang. Saya berpikir alangkah baiknya memberi modal pada Ibunda Siti untuk berjualan makanan dan buka warung bakso, agar kedua ibu dan anak itu tidak terpisah seharian. Siti juga tak perlu berlelah-lelah seharian, dia bisa bantu Ibunya berjualan sambil belajar.
1331091644515738002
(alagkah lebih baik kalau Siti bisa melayani pembeli di warung bersama Ibunya, jadi dia tak perlu kelelahan seharian)
Mengingat untuk memberi “kail” tentu butuh dana tak sedikit, pagi ini saya menulis kisah Siti dan memforward ke grup-grup BBM yang ada di kontak BB saya. Juga melalui Facebook. Alhamdulillah sudah ada beberapa respon positif dari beberapa teman saya. Bahkan ada yang sudah tak sabar ingin segera diajak ke Malimping untuk menemui Siti dan memeluknya. Bukan hanya bantuan berupa uang yang saya kumpulkan, tapi jika ada teman-teman yang punya putri berusia 7-8 tahun, biasanya bajunya cepat sesak meski masih bagus, alangkah bermanfaat kalau diberikan pada Siti.
Adapula teman yang menawarkan jadi orang tua asuh Siti dan mengajak Siti dan Ibunya tinggal di rumahnya. Semua itu akan saya sampaikan kepada Pak Tono dan Ibunda Siti kalau saya bertemu nanti. Saya menulis artikel ini bukan ingin menjadikan Siti seperti Darsem, TKW yang jadi milyarder mendadak dan kemudian bermewah-mewah dengan uang sumbangan donatur pemirsa TV sehingga pemirsa akhirnya mensomasi Darsem. Jika permasalahan Siti telah teratasi kelak, uang yang terkumpul akan saya minta kepada Rumah Zakat untuk disalurkan kepada Siti-Siti lain yang saya yakin jumlahnya ada beberapa di sekitar kampung Siti.
Mengetuk hati penguasa formal, mungkin sudah tak banyak membantu. Saya menulis shout kepada Ibu Atut sebagai “Ratu” penguasa Banten ketika kejadian jembatan ala Indiana Jones terekspose, tapi toh tak ada respon. Di media massa juga tak ada tanggapan dari Gubernur Banten meski  kisah itu sudah masuk pemberitaan media massa internasional. Tapi dengan melalui grup BBM, Facebook dan Kompasiana, saya yakin masih ada orang-rang yang terketuk hatinya untuk berbagi dan menolong. Berikut saya tampilkan foto-foto Siti yang saya ambil dari FB Orang-Orang Pinggiran. Semoga menyentuh hati nurani kita semua.
13310919691903277585
(termos penuh berisi kuah bakso tentu tidak ringan untuk ukuran anak seusia Siti)
Sumber foto :
Dear pembaca, kami telah melakukan kunjungan ke rumah Siti dan memberikan bantuan awal dengan dana terkumpul dari pembaca Kompasiana dan sumbangan teman-teman saya. Survey dilakukan 2 hari setelah tulisan ini tayang (tgl 9 - 10 Maret 2012) dan kunjungan pemberian bantuan dilakukan besoknya, Minggu (11 Maret 2012). Namun kami bagi yang ingin berpartisipasi mengulurkan tangan memberi bantuan, kami tetap membuka pintu untuk bantuan anda. Berikut reportase kami ke kampung tempat tinggal Siti :
  1. http://sosbud.kompasiana.com/2012/03/12/kunjungan-ke-rumah-siti-bag-1-karakter-warga-dan-kondisi-fisik-kampung-siti

  2. http://sosbud.kompasiana.com/2012/03/12/kunjungan-ke-rumah-siti-bag-2-rencana-aksi-skema-bantuan-dan-persiapan-kunjungan/

  3. http://sosbud.kompasiana.com/2012/03/12/kunjungan-ke-rumah-siti-bag-3-euphoria-kunjungan-kebahagiaan-siti-dan-kegembiraan-tetangga/